01 November 2020

Apple n Cherry serial 1

berhubung lagi UAS,
saya posting cerpen saja dulu.

ini saja telat dari jadwal rutin posting saya tiap hari Rabu...

Persaudaraan dan cinta?
Apple memanggang kue Pienya sampai matang. Kemudian mengemasnya dalam sebuah kotak makanan berisi Pie untuk dibawa ke sebuah gubug kayu, dekat sungai yang mengalir di belakang blok perumahannya. Gubug yang paling berbeda diantara rumah-rumah yang lain.
Dia melewati ruas jalan yang sempit dan berhenti tepat di bawah pohon palm merah, di situ ada Cherry, jongkok di dekat tong sampah sambil memainkan bola softballnya dan bergaya hipster, menunggu kakaknya lewat.
“Bilang apa sama mama?”, Cherry menyahut kotak besar bawaan Apple dan melemparkan bola kesayangannya ke arah Apple.
“Aku nggak mau bohong”, jawabnya tegas.
“Terus kamu bilang apa?”.
“Ya..mama tau kamu main softball dulu sepulang sekolah dan kabur pas pelajaran BK”, kali ini Cherry memukul keningnya sambil berkata, “Mampus gw!”
Kali ini Apple membiarkan adik kembarnya berjalan mendahuluinya, membawa keranjang kue Pie buatan Apple. Dan selalu saja begitu. Tidak hanya sekali ini saja, tapi sudah terlalu sering Cherry berjalan jauh di depan Apple dan meninggalkannya di tengah jalan.
Sesampainya di sebuah gubug kayu yang dingin dan sepi, Cherry membuka pintu besar rumah itu. Gubug kayu yang hanya dijaga dua orang penghuni rumah ini. Hanya ada seorang wanita tua berusia enam puluh tahun tapi masih bisa berjalan tegak seperti gadis seusia mereka berdua. Dan pesuruhnya yang bernama Mang Ipuk, lelaki tua yang sudah mengabdi puluhan tahun pada keluarga Solicyun, nama belakang keluarga nenek Sul yang diwarisi turun temurun sampai sekarang.
Gubug hanyalah sebutan mereka saat pertama kali menemukan rumah itu. Aslinya rumah itu lebih besar ketimbang rumah mereka yang kecil tapi modern, bergaya etalase dan bernuansa Perancis. Sedangkan gubug kayu itu bernuansa sangat Jawa dan full nuansa kayu. Tapi tempat itu sangat luas, Cherry saja bisa melempar bola sejauh mungkin tanpa harus memikirkan akan ada yang pecah.
“Kalian sudah datang?”, suara getar dari tirai bambu yang berwarna paling khas di rumah itu, mengalun pelan. Sekaligus oleh-oleh Cherry yang langsung membuat gaduh seisi rumah dengan memecahkan guci kecil dekat pintu. Apple bergerak cepat mencari tangan lembut yang sudah berkeriput dan mencium pergelangan tangan nenek Sul.
“Cher, apa lagi yang kamu pecahkan?”, Apple merasa tidak enak tapi kedekatan diantara mereka bertiga sejak tahun lalu membuat Apple sedikit tenang meski hanya melihat nenek Sul tersenyum.
“Sudah, biar Mang Ipuk yang membereskan”, ucap nenek Sul lembut. Sangat lembut. Karena dia termasuk keturunan ningrat Jawa. Dan mendapat gelar Rr. sejak lahir.
“Biar saja nek, dia itu harus belajar untuk berhati-hati”, kata Apple menyudutkan posisi Cherry yang makin kesal ketika berikutnya, nenek Sul mengajak Apple ke sebuah tempat. Dan mengizinkan Cherry ikut asalkan lantai di ruang tamu sudah bersih dari serpihan guci.
Apple mengenal nenek Sul sejak bulan April tahun lalu. Namun, belum sekalipun Apple menginjakan kakinya di tempat yang ditunjukkan wanita tua beruban penuh yang berdiri di depannya saat ini. Dia melihat sebuah miniatur kota yang terkurung dalam kotak kaca berukuran 4 x 4 meter. Luar biasa! Hanya itu yang terdengung diantara suara menggema yang saling bersautan di ruangan besar dan kosong itu.
Sekali lagi mata Apple tersulap pada deretan pohon apel, merah, rimbun, dan menakjubkan sekali ketika ia mengamati apel raksasa di tengah taman. Bukan hanya itu, rajutan romantik tertera jelas pada gedung-gedung bertingkat. Ada kesan kasual tetapi lebih menarik karena nuansa merah yang terang dan hijau yang sejuk. Semua itu luar biasa, Apple menggeleng-geleng sekali lagi.
“Kenapa memilih apel?”, tanya Apple ketika neneknya berjalan menjauh. Dan Apple sudah menganggap nenek Sul seperti neneknya sendiri sejak pertama kali mereka bertemu. Melihat nenek Sul yang tua renta dan kesepian. Mereka sangat cocok ketika Apple yang suka mendengarkan cerita, mendapatkannya dari nenek Sul.
Pertemuan yang aneh kalau Apple bilang. Dia sedang berjalan-jalan mencari palm merah, tiba-tiba seorang nenek menawarkan Pie apel padanya.
“Itu satu-satunya buah kesukaan kakek....”, jawabnya lemas. Apple yang berada di sebelah nenek persis, melihat guratan sedih yang sangat jelas. Ada genangan air di pelupuk tua yang sudah mulai keriput. Dan Apple tahu, kini saatnya mendengarkan cerita dari nenek.
“Nenek sedih?”, sergah Apple saat nenek mulai menggranyangi miniatur itu. Dan menyentuh-nyentuh pada satu pusat tempat yang sangat menonjol dalam deretan miniatur tersebut. Nenek melihat penuh ke arah pohon apel.
“Kau tahu kenapa nenek langsung suka padamu?”, jawabnya tidak diinginkan Apple, tapi apapun yang dikatakan nenek, Apple yakin itulah awal sebuah cerita yang akan nenek suguhkan kali ini. Dan dia suka sekali mendengarkannya. Apple menggeleng sekali lagi ketika nenek melihat ke bola matanya yang coklat-hijau, blasteran Jerman.
“Karena namamu Apple. Kakek selalu bilang, kalau apel itu tanda kesucian dengan warna putih gading di dalamnya dan tersimpan keberanian di warna merahnya. Dan tidak akan terkelupas selama warna terang itu masih ada. Dan kau tahu, kapan buah apel itu berbuah?”
Lagi-lagi Apple menggeleng, tandanya makin tidak mengerti akan alur cerita yang disampaikan neneknya. Ia mengulang memorinya dan menebak kalau kelahirannya akan sama seperti jawaban yang benar dari neneknya.
“Bulan kedelapan”, jawabnya polos. Nenek menggeleng mantap. Wajah lentruk Apple membuat suasana obrolan mereka makin membuat Apple penasaran. Dan nenek tidak sekalipun mengerti, kalau Apple buru-buru ingin tahu jawabannya.
***selalu ada jawaban di sisi lain yang tak pernah terduga***

07 Desember 2011

Thanks to All in My Life

Terimakasih….

Seperti ini saja tidak cukup.  Terlalu ringan bersandingkan dengan tumpukan besi.  Terlalu sederhana bersemayamkan kertas kosong.  Hanya sepatah kata yang tak bermakna jika tak diikuti penghuni hatinya.  Terimakasih ini seperti kaleng kosong yang terlalu nyaring bunyinya tapi tak sampai di hati orang lain jika si empunya pun tidak mengikutsertakan hatinya pada ucapan yang satu ini.


Saya…ingin sekali mengikutsertakan hati saya untuk mengucapkan terimakasih bagi orang-orang yang selalu mendukung saya selama 4 tahun menimba ilmu sampai pada akhirnya di ceremony kan pada tanggal 1 Desember 2011. 

Pertama-tama, sujud syukur saya persembahkan pada Allah SWT sehingga saya dapat menyelesaikan study saya pada tanggal 25 Agustus 2011.  Dimana Allah merancangnya dengan sangat manis, yaitu tepat pada hari ulang tahun saya.  Berselimutkan ketegangan pada pagi harinya dan rasa syukur pada siang harinya setelah keempat penguji menyatakan “LULUS” dan memasukkan nilai hasil sidang saya ke dalam amplop.


Kedua, saya mengucapkan terimakasih sebesar-sebarnya untuk kedua orang tua saya.  Telah berkenan jauh-jauh datang dari Purwokerto ke Solo hanya untuk melihat anaknya mengenakan slempang kebanggaan untuk orangtuanya dan slempang kelulusan untuk perjuanganya selama 4 tahun.


Ketiga, saya ucapkan sweet thanks to my panda.  Pundak saya yang selalu setia menjadi tempat mengadu.  Dan lengan saya yang selalu sigap membantu setiap saat ketika saya butuhkan.  Tempat saya berdiri tidak sendiri.  Dukungan dan motivasi terbesar adalah dia yang tidak pernah pamrih berada dalam kalut saya, berada dalam gundah saya, berada dalam relung kejatuhan saya.  Dorongan dan harapan terbesar saya adalah dia yang selalu menanti saya lulus dan berharap segera menuju impian selanjutnya bersama.





Keempat, saya ucapkan untuk kenangan yang tak pernah terlupa.  Torehan yang selalu membekas dalam memory panjang cerita hidup saya.  Mereka adalah kawan sejati yang tak redup dalam canda dan tawa.  Teruntuk Risa, Ulum, Berlian, Pito, Charla, Karina, Zulfa, Citra, Putri, Septi, Mila dan orang-orang yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.  Empat tahun adalah jalan yang panjang untuk menorehkan cerita bersama, kawan…masih ingatkah tingkah kita ketika di depan layar besar sambil berdendang? Masih ingatkan kawan saat kita selalu duduk bertiga di sudut porsima, kelas, ato kamar kos?  Masih ingatkah kawan saat pundakmu dan pundakku bersatu untuk mengokohkan bidang yang kita pijak bersama?  Masih ingatkah kawan saat kita bercerita panjang lebar untuk pertama kalinya di rumah makan padang?  Masih ingatkah kawan saat orangtua kita bertemu dan ternyata kita adalah saudara?  Potret-potret kehidupan seperti inilah yang akan saya kenang, kawan.  Dan tak lupa untuk semua teman-teman psikozero-zero seven tercinta, yang tak lekang oleh omongan kakak tingkat yang memandang miring angkatan kita, yang tak pernah redup untuk saling mengingatkan, berbagi dan bertenggangrasa.  Saya bangga memiliki kalian dalam memory saya yang akan menjadi bagian dalam hidup saya, kawan.


Kelima, saya ucapkan terimakasih untuk sisi yang tak pernah lepas dari pandangan saya setiap pagi, siang, sore dan malam.  Untuk anak-anak kos as-syamsa yang selalu punya banyak cerita, canda dan tawa.  Kalian lah keluarga saya dalam kerinduan yang tak terbatas ketika ingat rumah.  Saat paling membahagiakan adalah ketika ngrumpi di depan TV sambil mengkambinghitamkan salah seorang anak kos.  Say thanks to  anak-anak kos bawah yang selalu bikin ribut.  Thanks to a lot of happies, funnies and memories…mba er er yang gak pernah mau saya panggil mba cimet alias mba Erma, mba ciput alias mba Putri, tani alias Tania, lalu lala alias Lala, kingke alias Diana, Desy, Pipit dan semuanya yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.  Saya ingin masak-masak bersama lagi…teman…


Pada intinya…saya hanya ingin mengucapkan Terimakasih dari hati yang paling tulus untuk semua sosok yang tidak pernah berhenti member dukungan pada saya.


Dan kini…Seperti kapas yang telah terisi oleh tetesan embun.  Hati ini seperti meresapkan rasa syahdu saat menyentuh beningnya ketulusan hati orang-orang disekitar saya.  Rasa cinta yang mereka torehkan adalah berkah bagi saya.  Kasih yang mereka titipkan di hati saya adalah anugrah bagi saya.  Semua itu…adalah ciptaan Allah yang Dia hadiahkan bagi saya.  Syukur ini...saya kembalikan hanya untuk-Mu Ya Allah.

03 Maret 2011

Hank

Buku merah pertanda keberanian. Buku ini berisi kisah seorang pengembara yang berbekalkan keberanian saja. Ia mengembara di hutan asing yang tak pernah di temuinya sebelum ini. Hutan yang lebat dan anggun. Tertutup karena rimbunnya pepohonan di dalamnya. Cahayanya sedikit dan tak berjejakkan manusia sama sekali. Hingga akhirnya pengembara itu datang dan menjejakkan kakinya untuk pertama kali.

Tibalah pengembara pada gubuk mungil nan cantik. Di dalamnya tertinggal secarik kertas. Bertandakan silang dan bertuliskan ‘help’.


Huifffffff. Jujur! Dua paragraph di atas saya paksakan. Otak ini saya peras se-peras perasnya. Kering tak membekaskan setitik air sama sekali. Entah ada apa dengan perasaan saya malam ini. Terlalu banyak hembusan angin yang menyesakkan dada. Kemarin, hari ini dan malam ini. Rata Penuh

Tututan untuk lulus secepatnya, seperti mengejar keberadaan saya saat ini. Saya penat dengan otak seperti ini. Dan saya butuh tempat menitipkan lelah sementara. Biasanya selalu ada. Selalu ada di dekat saya. Di tiap deringan hp, di kotak-kotak inbox atau celotehnya di teras depan rumah. Rasanya dulu tak seperti sekarang. Disibukkan dengan pekerjaannya seabrek. Tuntutuan tanggungjawab yang selalu menuntun pulang malam. Membuat saya tak lagi merasakan tempat bersemayam seperti dulu. Ini hanya masalah timing, tapi saya yakin, isi otaknya sama seperti saya. Merasakan sesuatu yang ingin dijumpai segera.

07 Januari 2011

Sincerity and Innocence

Menjelajahi tatanan jalur menggunung di Boyolali selama tiga hari. 4 – 6 Januari dalam sebuah pengalaman yang luar biasa, yang membawa saya pada pemaknaan lain dari kehidupan ini. Memberikan pelajaran luar biasa dari orang-orang yang luar biasa. Menemukan wanita luar biasa yang tersimpan dengan adhem-nya di balik kabut gunung Merapi. Wanita yang luar biasa tulus dan berjiwa besar. Wanita inilah yang membuat saya berharap besar suatu saat nanti, 5 atau 10 tahun mendatang, saya tidak akan pernah lupa menyusuri jalan menuju rumah Bu Jenak (Rejasari, Gedangan, Boyolali). Tempat berlabuh bagi kami dan tempat saya belajar banyak memahami kultur di daerah tersebut. Yang selalu menyiapkan kami sarapan, makan siang dan malam. Memberikan senyum di setiap perkataannya. Dan sedikit menetes air mata di waktu perpisahan datang mengantarkan kami harus kembali ke asal kami. Akan saya kenang, ibu….


Lain ceritanya tentang sejuta senyum anak-anak SD Gedangan 2 Boyolali. Anto, Deni, Parto, Agus dan Bono bermain di pelataran sekolahnya. Tempat tertinggi dari daerah yang bernama Gedangan. Berlarian saling mengejar satu sama lain. Si Bono lewat di depan saya dan saya tersenyum padanya. Dia bingung dan balik berlarian, membaur bersama teman-temannya. Kini, ia mengambil bola di ruang orahraga dan ditendangnya bergantian dengan anak yang lain. Anto mulai kelelahan dan duduk di depan saya beralaskan pasir dan debu kaki. Disusul kemudian Deni, Parto dan Agus, Bono belakangan. Semuanya menilik ke arah saya dan saya balas dengan senyuman. Kesan pertama yang saya tangkap dari reaksi yang mereka berikan adalah diam inocent. Kedua bingung. Ketiganya lebih bingung ketika saya terus tersenyum setiap kali mereka menilik ke arah saya di sela-sela percakapan mereka. Percakapan mereka yang sarat dengan lekak-lekuk bahasa Jawa. Dan saya suka mendengarkan mereka, memperhatikan cara mereka tersenyum, memperhatikan cara mereka menimpali temannya yang tidak bisa mengikuti permainan mereka dan tingkah laku mereka yang lucu. Saya berusaha memasuki dunia mereka, sarat dengan kepolosan dan kesantunan.

Saya mulai mendekati mereka dan berkata, “Adik-adik…mau ga, mba ajak bermain?”. Alih-alih mulut ini menggunakan bahasa yang biasa saya pakai. Spontan tersentak ketika mereka menjawab, “Purun, mba…” Jleb! Saya langsung menyadari ada dua kontak bahasa yang berbeda diantara kami. Dan tidak baik jika dibiarkan berkelanjutan, maka alih-alih belajar bahasa Jawa, saya coba sekenanya menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. “Ayo…kenalan se’, yo…, mba iki…biasane diceluk’e Dias…hayo sopo?” “Mba Dias…..”, kontan mereka menjawab sangat bersemangat. Sangat menyenangkan berinteraksi dengan mereka. Santun, polos, ceria dan terbuka. Mereka ini…yang saya bilang harapan nusa, bangsa dan negara.

Satu per satu mulai saya ajak menyebutkan nama mereka dan mengejanya. Satu orang saja yang saya lihat kesulitan mengeja namanya sendiri. Keempat lainnya sahut-sahutan ingin membantu, tetapi saya acungkan jari telunjuk saya di depan mulut dan berujar, “Ssst…hayo…ben Bono dhewe’ yo sing njawab pertanyaane mba’e…yo?”. Yang lainnya dengan semangat menjawab “Hee’eh, mba….”.

Berulang kali Bono menyebutkan namanya dan tidak bisa lancar. Meski begitu, saya tetap ingin membantunya mengeja namanya sendiri. Wajar saja, ternyata Bono itu masih kelas 1 dan keempat lainnya kelas 2. Tentunya, saya akan mempertimbangkan lagi jenis permainan yang bisa dengan mudah dipahami oleh anak-anak kelas 1 dan 2. Yang pada dasarnya pola karakteristik mereka tidak berbeda jauh dengan rentan umum tergolong hampir sama. Meskipun Bono nampak paling diam diatara yang lain dan lebih banyak senyam-senyum ketika saya tanyai daripada menjawab. Namun, dari dia saya belajar bahwa tersenyum adalah hal yang paling indah dan paling mudah kita lakukan disaat kita tak bisa berbuat apa pun. Dia lah si Bono yang saya kenal lucu dari puncak Merapi. Kelima anak ini yang membuat saya terus teringat pada tanah Boyolali yang subur dan suasana hijau yang asri. Di bawah rintik hujan yang membawa saya perlahan menjauh dari tempat itu. Splash! Yang selanjutnya membawa saya telah kembali ke dalam atmosfir Solo yang panas.


Cepogo, 4 – 6 Januari 2011 “Survivor Merapi, ketika anak-anak membutuhkan sentuhan psikologis”

28 Desember 2010

Child for Future

Ada yang menarik dari kata-kata seorang pembicara dalam acara yang saya protokoli. Seperti ini bunyinya, “Untuk apa mendorong anak kita menjadi ranking 1 jika yang diperebutkan hanyalah satu kursi. Tapi…sebagaimana pintarnya kita sebagai orang tua untuk mendorong anak kita meraih kesuksesan di bidang yang diminatinya.“ Benar juga saya mencerna perlahan kata-kata itu. Pastinya…anak mana yang mau dituntut hanya karena obsesi orang tua. Ga’ banyak orang tua yang habis-habisan (ya ongkos, ya tenaga) untuk memasukkan anaknya ke sekolah mentereng (bonafide). Tapi bukan karena keinginan anaknya, melainkan keinginan orang tuanya. Status sosial lah yang menjadi faktor pendorong utama. Terlihat hebat diantara orang tua yang lainnya, ketika bisa memamerkan putra-putrinya masuk ke sekolah bonafit atau kelas akselerasi, meski sebenarnya yang perlu dilihat adalah kemauan dan kemampuan anak itu sendiri. Bukan seberapa tebal kantong orang tua. Karena yang akan menjalankan proses belajar mengajar, pastilah si anak. Biarkanlah anak belajar memilih dan kita membimbing. Bukan kita yang memilih dengan segala otoritas kita sebagai orang tua dan membiarkan anak kita menjalani masa kecilnya seperti robot. Dari sinilah anak akan belajar bertanggungjawab dengan pilihannya sendiri.


Satu lagi yang menarik dari yang saya baca, “Children Learn What They Live” by Dorothy Law Nolte. Seperti ini bunyinya, tentunya setelah ditranslate:
Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.

So…yakinkah kita sebagai orang tua tega mencetak anak kita dengan pembelajaran yang terjadi seperti di atas. Tentunya, tidak…
See bout this….

Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan kasih saying dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Anak adalah anugrah yang seharusnya kita pelihara sebaik-baiknya hadiah terbesar dari Tuhan. Anak itulah yang akan meneruskan lahiriah kita sebagai manusia. Baik dan buruknya anak adalah tanggungjawab kita sebagai orang tua. Disinilah peran suami dan istri untuk sama-sama mendidik anaknya. Keduanya berperan sama besarnya. Jika ayah mengajari anak untuk berani dan berpikir logis, maka ibu mengajari anak untuk berempati dengan perasaan orang lain dan berpikir dewasa. Jika ayah memberi perlindungan, maka ibu memberikan kehangatan untuk anaknya.
Peranan keduanya haruslah seimbang meski keduanya bekerja mencari nafkah sebagai individu yang dikatakan dual carrier marriage. Terutama bagi ibu yang berperan ganda (sebagai ibu dari anak-anaknya-istri bagi suaminya dan sebagai wanita karir). Sisi yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan dirinya dalam mengatasi permasalahan dalam rumah tangga.


Inilah…mudah-mudahan yang menjadi bahan tugas akhir saya….
Doakan ya…berjalan lancar dan sukses sampai gelar S.Psi bisa saya rengkuh…
Amin….